Tentang sejarah KOTO
Seputar alat musik KOTO
Seputar alat musik SHAKUHACHI
KOTO adalah alat musik yang menyerupai kecapi di Indonesia,
disebutkan masuk ke Jepang sejak abad ke-7. Di masa itu, KOTO dimainkan
sebagai salah satu bagian musik Istana. Formasi KOTO yang dimainkan
sebagai alat musik tunggal, tanpa iringan alat musik lain, menjadi
populer di masyarakat sejak abad 17. Pada abad 17 lahir maestro KOTO dan
pencipta “HACHIDAN”(delapan babak)”dan “MIDARE” (lagu berirama lepas)
YATSUHASHI KENGYO. Ia menciptakan pakem dasar untuk SOKYOKU (lagu-lagu
KOTO).
Pada dasarnya musik tradisional Jepang memiliki 5 tangga nada,
kurang 2 tangga nada dibandingkan dengan musik barat yang mempunyai 7
tangga nada “do re mi fa so la si”. Namun, musik Jepang tradisional juga
menyerap beragam tangga nada lainnya sehingga menghasilkan irama yang
sangat berbelit. Dasar-dasar musik istana atau musik aristokrat
diciptakan dengan menggunakan nada “do re mi so la” atau “re mi so la
si”. Cara ini disebut “YO-ONKAI” yang memiliki nada yang relatif riang.
Sedangkan YATSUHASHI KENGYO membuat “HIRAJOSHI” atau nada datar yang di
dalam tangga nadanya menggunakan “mi fa la si do” yang di antaranya ada
semitone sebagai nada dasar. Nada ini disebut “IN-ONKAI” yang lebih
sendu dan menggugah emosi sehingga masyarakat Jepang di jaman itu kerap
terharu mendengarkan nada ini. Setelah YATSUHASHI KENGYO memperkenalkan
“HIRAJOSHI”, SOKYOKU sangat berkembang dan dicintai sehingga diakui
sebagai musik rakyat Jepang.
YATSUHASHI KENGYO bisa disebut sebagai pencipta SOKYOKU dan
meninggal dunia pada tahun 1685. Jika kita menengok ke negara barat,
Bach, yang dikenal sebagai pencipta musik barat lahir pada tahun saat
YATSUHASHI KENGYO meninggal.
Bagian badan terbuat dari “KIRI” atau kayu paulownia yang dilubangi
bagian dalamnya. KOTO memiliki 13 dawai. Karena KOTO menggunakan 5
tangga nada maka dengan 13 dawai biasanya KOTO dapat menghasilkan
sekitar 2.5 oktaf. Antara bagian badan dan dawai ada “JI” sebagai
penyangga dawai. Jika “JI’ digeser maka hasil suara pun berubah.
Mengatur nada (tuning), yang merupakan persiapan dasar untuk permainan
Koto, juga dilakukan dengan menggeser posisi “JI”. Selain “HIRAJOSHI”,
ada berbagai aturan nada(tuning) yang dikembangkan dari “HIRAJOSHI”.
Dengan menggunakan tangan kiri yang menekan dan menarik dawai,
tangga nada dapat berubah atau pun menghasilkan suara bernuansa vibrato.
Pada awalnya dawai dibuat dari sutera, tetapi zaman sekarang dawai juga
menggunakan bahan lain seperti bahan sintetis. Pemain dapat menggunakan
“TSUME” atau kuku palsu untuk 3 jari di tangan kanan. Pada dasarnya
KOTO dimainkan dengan menggunakan “TSUME” yang terkadang digunakan pada
jari lain atau pun pada jari-jari di tangan kiri. Di dalam lagu SOKYOKU
terkadang ada juga suara nyanyian.
KOTO memang dimainkan bukan untuk mengiringi nyanyian, tetapi suara
nyanyian juga dianggap sebagai salah satu jenis alat musik. Dalam
artian, alat musik dan suara sama-sama dianggap berperan penting untuk
menghasilkan musik. Di Jepang, sejak zaman dahulu hingga saat ini KOTO
sering diibaratkan sebagai “RYU” atau “Naga” sehingga bagian-bagian alat
musik ini juga dinamai “RYUKAKU” (tanduk Naga), “RYUKOU” (mulut Naga),
“RYUBI” (ekor Naga), dll. Di berbagai negara di Asia, naga dihormati
seperti dewa dan dianggap sebagai mahluk mitos spiritual tinggi. Dengan
demikian bisa dibayangkan bila KOTO juga sangat dicintai oleh masyarakat
Jepang.
Koto
Seputar alat musik SHAMISEN
Orang Jepang kerap tergetar ketika melihat bentuk SHAMISEN yang
sangat indah, bahkan ada yang berkata bahwa bentuk ini terinspirasi dari
bentuk tubuh wanita. SHAMISEN mempunyai 3 dawai dengan ketebalan
berbeda. Dawai yang paling tebal menghasilkan suara yang paling rendah
dan dawai yang paling tipis menghasilkan suara yang paling tinggi.
Di antara bagian badan dan dawai ada “KOMA” untuk menghasilkan suara
SHAMISEN. Waktu memainkan SHAMISEN kita harus memegang BACHI-pemetik
dawai-dengan tangan kanan, dan menyapu dawai dari arah atas ke bawah
atau dari arah bawah ke atas dengan ujung BACHI sehingga mengeluarkan
suara. SAO yang panjang ini adalah bagian penampang kayu
(fingerboard/neck) yang dipegang oleh tangan kiri. Pada bagian SAO tidak
ada tanda untuk menunjukkan posisi tempat pegangan, tidak seperti gitar
yang mempunyai fret. Pemain dapat menghasilkan suara SHAMISEN yang
tepat dengan mengandalkan intuisi serta pendengaran yang dihasilkan dari
pengalamannya. Bagian yang dipegang untuk menghasilkan suatu nada di
dalam SAO ini disebut “TSUBO” atau “KANDOKORO”. Dengan tangan kiri
pemain bukan hanya menekan dawai, tetapi juga menjepit dan meluncurkan
jari serta menggoyangnya untuk merubah nada. Cara lain adalah dengan
mengetuk dan memetiknya.
SHAMISEN terbuat dari “KOBOKU” atau ”Red Sanders” sejenis kayu yang
sangat keras berasal dari India Selatan untuk menahan kuku pemain yang
mencengkeram kuat. Dawai terbuat dari sutra dan “DO” (bagian badan)
dibuat dari kulit binatang. Memang hampir semua alat musik tradisional
Jepang seperti SHAMISEN dibuat dari bahan-bahan alami. SHAMISEN yang
dimainkan menggunakan BACHI (pemetik dawai) berasal dari “SANSHIN”, alat
musik tradisional daerah OKINAWA (daerah paling selatan di Jepang) yang
menggunakan kulit ular. Pada abad 16 SANSHIN sudah populer di OKINAWA
dan bentuk ini berkembang menjadi SHAMISEN khas Jepang yang dikenal saat
ini. SHAMISEN tidak seperti KOTO yang berawal sebagai alat musik
istana,yang dimainkan oleh kalangan elit. Dari awal SHAMISEN berkembang
sebagai alat musik di antara kalangan rakyat biasa.
Musik SHAMISEN memiliki berbagai genre dan ada beberapa jenis alat
SHAMISEN yang ukuran dan ketebalannya berbeda. Genre musik SHAMISEN yang
akan dimainkan hari ini termasuk dalam kategori “JIUTA”. Ada jenis
musik SHAMISEN yang berkembang sebagai pengiring atau suara efek di
teater, tetapi “JIUTA” ini berkembang sebagai musik murni yang dimainkan
bersama KOTO atau SHAKUHACHI, alat musik tiup tradisional Jepang.
“SANKYOKU” adalah salah satu bentuk musik “ansambel” yang dimainkan
menggunakan tiga alat musik tradisional Jepang yaitu SHAMISEN, KOTO dan
SHAKUHACHI. Diperlukan waktu cukup lama sampai terlahir ansambel tiga
alat musik ini karena masing-masing sudah dikenal masyarakat sebagai
alat musik tunggal. Namun demikian, bergabungnya tiga alat musik ini,
justru menghasilkan kualitas musik yang lebih kaya dan meluas.
Shamisen
Seputar alat musik SHAKUHACHI
Model SHAKUHACHI (seruling Jepang) yang dikenal masyarakat saat ini
disebut “FUKESHAKUHACHI”, berasal dari zaman pertengahan era KAMAKURA.
Pada zaman tersebut seorang biksu ZEN bernama Kakushin, belajar di
negeri Cina dan mempelajari lagu SHAKUHACHI untuk menyampaikan ajaran
FUKE, guru agama Budha aliran ZEN. Kakushin mempelajarinya dari seorang
guru Cina, CHOSHIN, dan membawa pulang lagu dan alat musiknya ke Jepang.
Sejak itu SHAKUHACHI digunakan sebagai alat penyebaran agama oleh
biksu-biksu aliran HOTTOHA RINZAISHU, salah satu bagian dari aliran ZEN.
Dari sejarah ini juga bisa diketahui bahwa semua lagu klasik SHAKUHACHI
yang disebut “SHAKUHACHI KOTEN HONKYOKU (lagu klasik khusus
SHAKUHACHI)” memuat ajaran agama Budha Zen. Ukuran panjang
FUKE-CHAKUHACHI adalah kurang-lebih 54cm atau dalam satuan ukuran
tradisional Jepang,1 SHAKU 8 SUN. Namun akhir-akhir ini ukuran panjang
SHAKUHACHI bervariasi dan nada dasar ditentukan berdasarkan ukuran
panjang tersebut.
Shakuhachi
SHAKUHACHI dibuat dari bambu, di bagian dekat akar, dengan diameter
3.5cm-4,0cm. Ada 5 lubang, 4 di bagian depan dan 1 di bagian belakang.
Sisi dalam SHAKUHACHI digosok sampai halus, bahkan belakangan ini bagian
dalamnya diolesi SHU-URUSHI (bahan pewarna alam berwarna merah) atau
KURO-URUSHI (bahan pewarna alam yang berwarna hitam), agar menghasilkan
suara yang halus dan indah. Dulu, bagian mulut SHAKUHACHI dipotong
menyerong, tetapi sekarang pada bagian mulut dipasangi tanduk rusa atau
kerbau supaya lebih kokoh. SHAKUHACHI merupakan seruling yang dapat
menghasilkan warna suara yang bervariasi dan nada suara yang paling
sensitif di antara seruling tradisional Jepang, baik seruling tiup
samping (horizontal) maupun seruling tiup depan (vertikal). Oleh karena
ciri khas itu SHAKUHACHI mempunyai posisi tersendiri di dalam alat musik
tradisional Jepang.
Sumber : http://www.jpf.or.id/